Jumat Tanggal Tiga Belas

“Selamat pagi!” Seru seorang wanita muda yang sedang menuruni tangga putar dengan terburu-buru.
“Pagi.” Jawab tiga orang lainnya yang sedang duduk mengelilingi meja makan.

Dengan masih terburu-buru wanita muda berambut coklat itu menarik salah satu kursi dan duduk menghadap ke segelas besar susu coklat dan dua butir telur rebus.

“Kok buru-buru, Dee?” Tanya seorang pria berkemeja hitam yang sejak tadi sudah sibuk dengan sarapan paginya.
“Iya, nih, hampir telat.” Jawab wanita muda yang dipanggil Dee itu sembari mengetuk-ngetuk telur rebusnya dengan sebuah sendok kecil. Wajahnya yang manis masih tampak dipenuhi ekspresi gugup, khas orang yang sedang terlambat.
“Emangnya ada apa?” Tanya seorang wanita jangkung berpakaian khas wanita karir yang juga sudah sejak tadi duduk di situ.
“Ada kerjaan yang mesti aku selesaikan siang ini, Mbak.” Jawab Dee sambil mengupas telur rebusnya.
“Emangnya kerjaan apa sih?” Tanya seorang bapak berkaos kuning yang duduk di sudut meja.
“Eng, sebenarnya proyek lama sih, Pak.” Jawab Dee, “Cuman saya lupa mengerjakannya, eh, tahu-tahu udah deadline.”
“Ooo, gitu.” Jawab yang lainnya menggumam dan meneruskan sarapan, seperti sudah terbiasa dengan tabiat Dee.
Jam dinding berbentuk kepala kambing masih menunjukkan pukul enam pagi.

“Pagi semuanya!” Sapa suara seorang pria dengan nada malas dari atas tangga putar.
Semua yang duduk mengelilingi meja makan mendongak ke arah tangga putar besar di sudut ruang makan itu dan balas menyapa.
“Kok belum mandi, Ray?” Tanya bapak berkaos kuning yang rupanya adalah pemilik rumah kos itu, “Mabuk lagi, ya?”.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Pria itu menuruni tangga pelan-pelan, dari kusutnya rambut, wajah, dan kaos oblong yang dikenakannya, tampak jelas bahwa pria yang dipanggil Ray ini masih belum lama bangun dari tidurnya.

Ray duduk di samping wanita jangkung berpakaian kerja tadi, dan mencomot segelas air putih tidak dingin di depannya.
“Eh, kok minum punya orang lain sih?” Seru si wanita itu dengan agak jengkel, “Udah bekas aku, tahu?”
“Hehehe, justru itu!” Ujar si Ray, “Aku malah nyari yang ada bekas lipstiknya Mbak Sari.”
“Kok nggak langsung aja sekalian?” Tanya pria berkemeja hitam yang duduk di sisi lain meja makan, “Rugi kalo cuman gelasnya.”
“Alaa, bilang aja kalau elo juga pengen!” Jawab Ray sekenanya sambil ngeloyor pergi ke kamar mandi.

Wanita jangkung yang dipanggil Mbak Sari itu menyorotkan mata tajamnya pada si pria berkemeja hitam.
“Eh, apa salahku? Kan dia yang ngomong!” Tanya pria itu dengan wajah innocent. Tapi Sari malah tersenyum.
“Wah, aku udah terlanjur ge-er tadi, Neo.” Ujar Sari diikuti tawa kecil yang terdengar seperti tawa hantu.
Pak Wir, bapak kost itu ikut tersenyum melihat wajah Neo yang kini pucat, kontras dengan kemeja hitamnya.

“OK, aku pergi dulu, dadaa semuanya!” Seru Dee sambil berdiri dengan terburu-buru dan berlari ke pintu keluar. Karena terburu-buru, ia tak menyadari kalau kaos ketatnya tersingkap, mempertontonkan sedikit kehalusan pinggang dan punggungnya.
“Hati-hati di jalan.” Kata Pak Wir pada anak kostnya itu, tentu sambil melotot ke arah kaos yang tersingkap tadi.
“Iya, hati-hati! Biar ntar malam tetap fit untuk Pak Wir!” Canda Sari keras-keras, yang disambut tawa terbahak oleh Neo dan wajah cemberut Pak Wir.
“Kok tahu sih?” Bisik Pak Wir setelah Dee keluar dari ruangan.
“Alaa, Pak Wir nggak usah sok deh!” Jawab Neo, “Siapa yang semalam ngintip Dee di kamar mandi?”
“Enak aja! Bukan saya itu!” Seru Pak Wir membela diri.
“Iya, Neo. Pak Wir bener kok, dia nggak ngintip Dee.” Jawab Sari dengan nada penuh pembelaan, “Yang dia intip itu aku!”
Mengakhiri kalimatnya, Sari berdiri dan berjalan ke arah dispenser, mengambil air minum di gelas baru karena gelasnya yang tadi sudah dipakai oleh Ray. Pak Wir tampak tersipu sementara Neo tersenyum nakal mengejeknya.

“OK, aku pergi duluan yah!” Seru Sari sambil mengeringkan tangan setelah mencuci peralatan makannya di wastafel.
Tubuh jangkung semampai yang tertutup blazer biru muda itu melenggang ke pintu keluar, rok span pendek yang membalut pinggulnya tampak bergoyang-goyang mengikuti gerakan kedua tungkainya yang jenjang terbungkus stocking transparan.
“Ngeliat apa kalian?” photomemek.com Bentak Sari sambil tiba-tiba membalikkan badan.
Pak Wir dan Neo yang sejak tadi memelototi wanita itu jadi salah tingkah dan pura-pura sibuk dengan sarapannya.
Dengan tawa lepas, Sari meninggalkan ruangan.

“Lho, udah pada cabut semua nih, bidadari-bidadarinya?” Tanya Ray yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk, segumpal pakaian kotor, dan cangkir plastik kecil berisi sikat gigi. Meski sudah mandi bersih, jalannya tetap saja gontai karena pengaruh alkohol dan obat-obatan yang dipakainya tiap hari.
“Masih ada yang satu lagi kan, Ray?” Jawab Pak Wir sambil membereskan peralatan makannya.
“Iya, nih.” Sahut Neo, “Khristi kok belum bangun yah, udah enam seperempat.”
“Wah, pasti kecapean semalam.” Kata Ray sambil berjalan naik lewat tangga putar.
Pak Wir dan Neo berpandangan sejenak dengan wajah bingung.
“Emangnya semalam dia tidur di kamar elo?” Seru Neo agak keras agar Ray yang berada di lantai dua bisa mendengarnya.
“Iyaa!” Terdengar teriakan Ray dari lantai dua.
Pak Wiro dan Neo kembali berpandangan dengan wajah bingung.

“Ah, nggak usah dipikirin deh Boss.” Ujar Neo, “Mendingan kita omongin rencana buat tanggal 13 nanti.”
“Iya, yah. Bener juga.” Jawab Pak Wir sambil mengisi tembakau di pipanya dan mulai merokok ala Sherlock Holmes.
“Sebenernya gimana rencana utamanya?” Tanya Neo sambil mencuci piringnya di wastafel.
“Gini, tanggal 13 nanti kan Big Boss datang, nah, dia mau nginap di sini.” Pak Wir memulai ceritanya.
“Nginap di sini?” Sahut Neo agak kaget, “Wah, kita mesti kasih sambutan dong?”
“Ya justru itu yang aku pikirin.” Jawab Pak Wir sambil mengelus-elus rambut ubannya, “Kamu tahu apa yang dia inginkan, toh?”
“Tahu sih,” Jawab Neo kembali ke kursinya, “Tapi apa anak-anak sini ada yang bisa?”
“Itulah.” Jawab Pak Wir menghembuskan asap pipanya ke atas, “Sari dan Dee udah nggak mungkin, tadinya aku harap Khristi bisa, tapi kayaknya Ray udah mengacaukan rencana kita nih.”
“Hmm…belum tentu juga sih.” Kata Neo sambil menyiapkan tas kerjanya di meja, “Apa Sari dan Dee udah jelas nggak bisa?”
“Ya udah pasti.” Jawab Pak Wir sambil mengencangkan ikatan sarungnya, “Si Dee, sejak ketemu dengan segerombolan preman dulu, dia jadi hidup rada bebas sekarang, sementara si Sari…yah, kamu tahu reputasi dia lah.”
“Ooh, si Big Boss itu mintanya yang masih ting-ting, yah?” Tebak Neo.
“Begitulah.” Jawab Pak Wir, “Sulit nyarinya kan? Belum lagi yang secara sukarela mau menyerahkan diri pada dia.”
“Apa harus sukarela?” Tanya Neo sambil menutup resleting tas kerjanya.
“Nggak sih, ya cuman nggak tega aja melihat orang terpaksa.” Jawab Pak Wir dengan nada bijaksana.
“Hmm.” Sebersit senyum dingin tampak di wajah Neo, “Aku sih malah lebih suka ngeliat yang kepaksa.”
“Mending kita omongin lagi ntar malam deh.” Jawab Pak Wir, “Ntar kamu telat juga, lho.”
Neo segera menenteng tas laptopnya dan meninggalkan ruangan.

“Pagi Pak Wir.” Sapa suara seorang wanita dari tangga putar. Pak Wir menengok ke arah situ.
“Pagi, Khristi.” Jawab pria setengah baya itu sambil matanya berusaha mengamati gadis manis yang sedang menuruni tangga putar itu. Gadis itu berwajah manis dengan senyuman misterius dan cerdas, khas wanita yang lama tinggal di negeri orang. Cara berjalannya pun anggun, namun pagi ini Khristi tampak agak aneh berjalannya.
“Khristi, kamu kenapa kok jalannya gitu?” Tanya Pak Wir tiba-tiba.
“Eh…Engg…Nggak apa-apa kok, Pak.” Jawab Khristi sambil duduk di kursi makan.
Pak Wir hanya diam, namun matanya meneliti tubuh gadis di hadapannya. Dilihatnya leher jenjang gadis itu putih bersih dan halus, namun agak di samping kiri tampak bekas merah, seperti bekas cupang, tertutup oleh rambut indahnya yang tergerai sebahu. Pasti ulah si Ray, pikir Pak Wir.
“Semalam kamu tidur sama Ray?” Tanya Pak Wir tanpa tedeng aling-aling.
“Iya.” Jawab Khristi sambil menyeruput secangkir kopi, tanpa tedeng aling-aling juga.
“Gimana, gimana, gimana?” Tanya Pak Wir penuh semangat sambil mengeluarkan kertas dan bolpen dari saku kaos kuningnya.
“Ahh, Pak Wir ini pengen tau aja!” Jawab Khristi tersenyum, “Mau ditulis di website yah?”
“Hehehehe…” Pria gemuk itu tertawa renyah, “Siapa tahu ceritanya seru.”
“Wah, seru sekali pokoknya!” Seru Ray yang ternyata sudah berada di tangga putar, “Dunia seperti milik berdua!”
Khristi tampak tersipu ketika Ray duduk di sampingnya dan mengecup kening gadis manis itu.
“Hmmm…” Khristi menggumam sambil memandangi langit-langit seolah berpikir-pikir, “Kalau sama Neo rasanya gimana yaaa?”
Wajah Ray tampak memerah, sementara Pak Wiro terkekeh.
“Kalau mo tanya tentang macam-macam rasa, tanya sama si Sari tuh!” Seloroh Pak Wir, “Dia tahu tempat memilih barang bagus, yang belum terkontaminasi obat dan tidak berbau alkohol.”
Wajah Ray tampak makin memerah.

*****

Malam tiba, garasi rumah besar yang seharian kosong itu kembali terisi oleh beberapa mobil penghuninya. Plat-plat nomor polisi di mobil-mobil itu menunjukkan sikap posesif para pemiliknya, seperti N 30 SN, S 4 RI, W 1 RO, D 33 PE, atau R 4 Y.

“Masuk, nggak dikunci!” Seru Sari ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Pintu terbuka, dan tampak Neo berdiri di situ.
“Masuk aja.” Sari menyilakan, sambil tetap membersihkan make-up pada wajah tirusnya di depan cermin rias di sudut kamar.
Neo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suara nafasnya terdengar agak keras karena situasi di kamar itu hening dan dingin oleh suhu AC. Pria itu memandang berkeliling, mendapati dinding dan langit-langit yang dicat hitam. Di sudut ruangan tampak sekantong pakaian kotor yang siap di-laundry, di sisi lain tampak sebuah meja rias panjang yang juga berfungsi sebagai meja kerja, dengan seperangkat palmtop, laptop, dan telepon seluler dihubung-hubungkan dengan beberapa kabel pendek.
“Mau membuktikan omongan si Ray tadi pagi yah?” Cerocos Sari sambil tetap memandangi wajahnya sendiri di depan cermin.
Neo tetap diam. Ia menatap tubuh wanita langsing itu dari belakang. Lingerie hitam nyaris transparan samar-samar menutupi keindahan tubuh pemakainya. Mata Neo terpaku pada sepasang tungkai jenjang yang telanjang bersilang, begitu halus dan bersih kedua paha itu. Pikiran pria itu segera melayang kesana kemari.

Sari berdiri dan membalikkan badannya menghadap ke Neo, hingga pria itu kini leluasa melihat segalanya, yang hanya terlapisi oleh lingerie hitam agak transparan. Namun sikap dan ekspresi wajah Sari tampak menganggap kondisi itu wajar saja.
“Tumben main ke kamarku.” Ujar wanita itu sambil tersenyum dan melangkah mendekati Neo yang berdiri terpaku di depan pintu.
Setelah keduanya berhadapan begitu dekat, Sari mencolek dagu Neo, membuat wajah pria itu terangkat agak ke atas hingga matanya bertatapan dengan mata Sari yang agak lebih tinggi.
“Kamu keren pakai kaos hitam begini.” Puji Sari sekenanya, karena memang Neo tidak punya baju berwarna selain hitam.
Neo tersenyum dingin, matanya menyorot tajam ke arah mata Sari yang juga tidak kalah tajam. Sari malah mendekatkan wajahnya dan makin tajam memelototi Neo.
“Udah, nggak usah pakai ini segala!” Ujar Sari sambil merogoh kantong celana Neo dan mengeluarkan sebuah borgol.
“Ini juga nggak usah dipakai!” Ujar wanita itu lagi sambil merampas cambuk dari tangan kanan Neo dan membuangnya ke lantai.
“Duduk situ!” Sari menyuruh Neo seperti menyuruh anak kecil, “Mau ngomong apa kamu?”

“Ada yang pengen aku omongin.” Ujar Neo setelah duduk di sofa yang terhampar di sudut kamar Sari yang dindingnya dicat hitam itu.
“Kok kayaknya serius amat sih?” Jawab Sari sambil melempar tubuh lencirnya ke atas springbed di samping sofa tempat Neo duduk.
“Ya, emang serius.” Jawab Neo, “Pak Wir pengen ngomong sama kita.”
“Lho, kan uang sewa udah aku bayar di muka untuk setahun?” Cerocos Sari dengan nada tidak terima.
“Bukan tentang itu.” Jawab Neo lagi, “Tapi tentang Jumat malam.”
Sari menjulurkan lengannya yang panjang ke meja rias meraih Palm IIIcnya yang tergeletak disitu.
“Oh, iya yah, jatuh pas tanggal tigabelas.” Gumamnya setelah melihat kalender di komputer sakunya itu, “Emang apa bedanya dengan Jumat tanggal 13 yang tahun lalu?”
“Bedanya adalah…” Neo menghela nafas panjang dan menyandarkan kepala di sandaran sofa, “Big Boss datang.”
“Kan emang tiap Jumat tanggal 13 dia selalu datang?” Jawab Sari sambil mengembalikan Palm-nya ke meja rias.
“Iya sih,” Jawab Neo lagi, “Kali ini dia mampir dan nginep disini.”
Wajah Sari yang biasanya tampak tajam itu kini agak mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan, sesuatu yang jarang terpancar dari wajah tirusnya.

*******

Kamar mandi di lantai bawah. Agak terlalu besar untuk dijadikan hanya kamar mandi, memang. Itu sebabnya para penghuni rumah itu meletakkan mesin cuci di situ, dan menjadikannya ruang cuci, sekaligus kamar mandi darurat.

“Ehhh, Pak Wir genit amat sihhhh!” Desah Dee ketika Bapak kost itu menggelitik pinggangnya.
“Hihihi.” Pak Wir terkekeh, “Abis kamu sih, masa nyuci baju aja mesti pakai kemeja ketat gitu.”
Dee sedang membungkuk di depan mesin cuci yang berisi baju-bajunya. Tangannya yang masih dipenuhi busa deterjen itu membalas Pak Wir, menggelitik pinggang pria setengah baya itu.
“Eits!” Seru Pak Wir sambil berkelit, namun kaos singletnya tetap terkena busa deterjen, “Yah, jadi basah nih.”
“Hihihihi!” Dee tertawa nakal, “Nggak apa-apa kan, Pak! Biar keliatan transparan!”
“Saya balas lho!” Seru Pak Wir sambil mencipratkan air dari mesin cuci ke arah Dee, membuat kemeja putih ketat yang dikenakan gadis itu jadi basah di bagian depannya.
“Iiih! Dingin dong, Pak!” Seru Dee manja.
“Kalau dingin, peluk saya doong!” Seru Pak Wir sambil tetap mencipratcipratkan air ke kemeja Dee hingga apa-apa yang di dalamnya kini tampak dari luar.
“Iya deh!” Dee menubruk pria itu sambil memeluk erat-erat hingga keduanya jatuh berguling-guling di lantai porselin yang dingin. Keduanya basah kuyup dan tertawa-tawa.
“Eh, pintunya dikunci dulu ya, Pak!” Ujar Dee yang tentu saja membuat Pak Wir mengangguk keras-keras.
Dee berdiri untuk mengunci pintu, namun Pak Wir merengkuh pinggangnya dari belakang.
Pria setengah baya bertubuh tambun itu mendekap erat Dee dari belakang dan menciumi tengkuk wanita muda itu. Tangannya pun tidak segan-segan meremas-remas pinggang Dee yang kini tertutup kemeja basah.
“Ehh, sebentar doong…uhhh…kan pintunya mesti saya kunci dulu!” Ujar Dee sambil menggelinjang memberontak.
“Iya deh, sana!” Pak Wir melepaskannya.
Dee berlari menuju pintu, mengambil anak kunci, menutup pintu, dan mengunci dari luar.
“Naah, sudah saya kunci ya pak!” Seru Dee sambil tertawa-tawa dari luar kamar mandi.
“Eh, curang kamu yah!” Seru Pak Wir dengan nada tidak terima dan menyumpah-nyumpah.
“Buka pintunya! filmbokepjepang.com Ada yang perlu saya omongin nih! Penting!” Teriak Pak Wir dari dalam kamar mandi.
“Hihihi, tentang apa nih, Pak?” Jawab Dee sambil tertawa-tawa, “Kok kedengarannya serius? Hahahaha.”
“Aku tidak ingin bercanda!” Jawab Pak Wir.
Suasana mendadak hening. Pintu segera terbuka kembali, dan pria setengah baya itu tersenyum menatap apa yang dilihatnya di depan mata.
Pintu tertutup dan kembali terkunci dengan sendirinya di belakang tubuh Dee yang kini tidak tertutupi selembar benangpun.
“Naaah, kalau gini kan lebih enak ngomong-ngomongnya” Bisik Pak Wir di telinga Dee.

********

Kamar tidur besar berukuran 8 x 4 meter. Hitamnya cat pada dinding dan langit-langit memberikan kesan suram dan gelap pada kamar yang sebenarnya terang-benderang.

“Ooh, gitu toh maunya.” Ujar Sari setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Neo.
“Iya, apa kira-kira kamu bisa bantu?” Tanya Neo sambil berdiri dari sofa, mengamati tubuh jangkung Sari yang tergeletak di tengah ranjang.
“Hm…Mungkin bisa…mungkin juga enggak.” Jawab Sari menatap mata Neo tajam-tajam.
“OK, ntar setelah selesai beres-beres turun yah?” Jawab Neo lagi, “Kita mungkin udah ditunggu sama Pak Wir.”
Neo lalu melangkahkan kakinya ke pintu, namun langkahnya terhenti ketika bahunya terasa ditarik oleh jari-jari wanita. Pemuda itu membalikkan badan dan mendapati Sari masih setengah terbaring di tengah ranjang yang cukup jauh dari tempatnya berdiri. Mata wanita itu melirik ke arah pintu, anak kunci berputar, dan pintu terkunci.
“Jangan keluar dulu, dong.” Ujar Sari datar. Wanita itu bangkit berdiri dan menarik lingerie hitamnya ke atas, dan melemparnya ke lantai, membiarkan Neo bisa melihat apa-apa yang ingin dilihatnya sejak tadi.

Secara refleks, Neo menarik kaosnya sendiri ke atas hingga terlepas, memamerkan otot-otot dadanya yang lumayan terlatih, dan melangkah mendekat. Sari kembali membaringkan tubuhnya di tengah ranjang, kedua tangannya merentang ke samping, kepalanya yang tak berbantal tampak menengadah ke atas, memejamkan mata seolah menyerahkan segalanya.
“Biasanya tidak semudah ini.” Bisik Neo dalam hati.
“Kali ini kamu beruntung.” Ujar Sari menjawab suara hati Neo, “Aku sedang capek dan ingin istirahat.”
“Lantas?” Tanya Neo, masih di dalam hati.
“Terserah kamu mau melakukan yang bagaimana.” Jawab Sari, sambil tetap dalam posisi semula.
Neo membungkuk mengambil cambuk panjang tergulung rapi yang tadi dilemparkan oleh Sari, ia juga memungut borgol keemasan dari lantai. Diperlihatkannya kedua benda itu pada Sari, seolah meminta persetujuan, namun Sari tetap tak bergerak.

********

Lantai kamar mandi terasa dingin mengalasi punggung telanjang Dee. Wajah wanita muda itu mengekspresikan rasa nikmat tiada tara, bibirnya yang indah ternganga mendesahkan rintihan-rintihan memelas, kedua matanya setengah terbuka dan bola matanya agak terputar ke atas, menampakkan putihnya saja. Kedua buah dadanya yang kenyal sedang berada dalam kepalan tangan Pak Wir yang meremas-remas gemas. Pinggang gadis itu sedikit terangkat karena lutut-lututnya mengait leher pria setengah baya itu. Tubuh mereka bergoyang-goyang kencang mengikuti tusukan-tusukan cepat batang kejantanan yang kaku pada liang kewanitaan yang lembab basah.

“J-jadi…kamu sudah tahu r-rencana hari Jumat b-besokggh?” Seru Pak Wir sambil terus menggoyangkan badan menyodok-nyodokkan kejantanan pada tubuh mulus Dee.
Sambil tetap meringis-ringis keenakan, wanita itu menganggukkan kepalanya. Gesekan-gesekan batang kokoh itu terasa begitu nikmatnya hingga mulut wanita itu tak mampu menyuarakan apa-apa selain erangan memelas.
“K-kamu bisa p-pastikannn t-t-tidak ada…p-pengacau kannnn?” Seru Pak Wir lagi, sambil mempercepat goyangannya dan menjepit dua putik kecil di dada Dee dengan ibu jari dan telunjuknya.
Dee makin liar merintih-rintih keras, gerakan badannya makin tak terkendali, menggeliat-geliat, kepalanya terbuang ke kiri dan kanan. Rambutnya yang basah oleh lantai kamar mandi terlihat begitu seksi menutupi sedikit dahinya.
“B-B-Bisa nggakkkgh?” Tanya Pak Wir lagi, meyakinkan.
“Uhhh…S-Saya b-b-bisaaaaahhh…” Rintih Dee sambil kedua tangannya memegangi punggung tangan Pak Wir yang meremas-remas buah dadanya yang ranum, “Oughhh…P-P-Pakkk…S-s-sayaa…aaaghhhhkkkk…”
Bertepatan dengan rintihan panjang Dee, Pak Wir juga melolong panjang dan menyemprotkan isi kejantanannya ke dalam tubuh Dee, lalu keduanya mengejang sesaat.
Dari luar ruangan terdengar suara seperti lolongan anjing yang menyayat kuping.

********

Dinginnya AC di kamar tidur itu tak lagi terasa oleh Sari. Wanita itu sedang terpejam-pejam menikmati perlakuan Neo padanya. Kedua tangan dan kakinya merentang ke sudut-sudut ranjang, terikat rapi oleh cambuk dan borgol milik Neo, membuatnya tak begitu leluasa menggeliatkan badan ketika rangsangan datang, ia hanya mampu mengerang dan memiringkan leher jenjangnya.

“Uhhhh…Neoooo…pleaseeee…” Rintih Sari dengan kening berkerut dan gigi menggeretak tak sabar.
“Sabar dong, Non.” Jawab Neo santai, terdengar menjengkelkan, “Aku masih menikmati ini semua.”

Tangan pria itu memegang sebuah gelas sloki kosong, yang digerakkannya menelusuri tubuh telanjang Sari. Dinginnya kaki gelas yang merambati tubuhnya membuat Sari tergelinjang-gelinjang menahan geli, namun kaki dan tangannya yang terikat menghalangi geraknya. Entah sudah berapa kali kaki gelas itu merambati leher jenjangnya, menggelitik paha bagian dalamnya, atau berputar-putar di atas kedua puting susunya yang telah mengejang kaku. Butir-butir keringat dingin mulai menghiasi kulit halus wanita jangkung itu. Akhirnya, kaki gelas itu menuruni perutnya yang ramping, merambati rambut-rambut halus di selangkangannya, lalu turun lagi…turun lagi…lalu berhenti tepat di atas sebentuk bibir lunak yang melintang di tengah pangkal pahanya.

“Nggg…don’t stop there…pleaseee…” Terdengar kembali rintihan memelas dari bibir tipis Sari.
“Hmm…tadinya sih mau terus turun, tapi aku tertarik dengan dua benda ini.” Jawab Neo sembari meletakkan gelas sloki itu di ranjang, membasahi jemarinya dengan keringat di pinggang Sari, lalu jemari kekar itu menjentik-jentikkan puting-puting susu Sari, membuat wajah pemiliknya kian memelas. Kedua alis wanita itu seperti mengumpul di keningnya, matanya terpejam rapat, giginya terkatup meski bibirnya ternganga. Kepalanya terbuang ke kiri kanan berusaha mati-matian menahan rangsangan rasa geli yang terasa begitu menyiksa karena tak mampu ditahan itu.

“Soo beautiful.” Ujar Neo sambil tersenyum menatap ekspresi ‘korban’-nya yang seperti perpaduan dari ekspresi kesakitan dan terangsang berat. Sesekali kuku tajam Neo menusuk puting-puting kecil itu. Rasa sakit yang sesekali muncul di tengah kenikmatan membuat wajah Sari kian merangsang, nafasnya tersentak-sentak, dan rintihannya tertahan-tahan. Neo menatap dengan nanar, pemandangan inilah yang dinantinantikannya sejak dulu.

Neo melepaskan kedua tonjolan kecil yang telah membengkak itu, memberi Sari kesempatan menarik nafas. Dada wanita itu naik turun mengikuti nafasnya yang terengah-engah agak lega ketika Neo menghentikan rangsangan mautnya. Namun wanita itu segera terjingkat-jingkat ketika Neo menyentuh-nyentuh bibir kewanitaannya dengan kaki gelas sloki tadi.
Tubuh langsing yang terikat erat itu mengejang-ngejang menahan rangsangan yang semakin meledak-ledak. Wajahnya meringis menahan siksaan itu, jeritan-jeritan keras terdengar terpatah-patah tertahan. Kaki gelas sloki kecil itu bergerak melingkar-lingkar, menggesek, mengait-ngait bibir kewanitaan Sari, membuat tubuh pemiliknya mengejang-ngejang.
Wanita itu tak lagi merasakan kenikmatan, melainkan rasa gatal yang amat geli yang membuatnya ingin segera mengatupkan kedua pahanya, namun ikatan di kakinya terlalu kuat. Perasaan dalam otaknya bercampur aduk, stress, gelisah, sekaligus amat sangat terangsang.

“Ohhh…Neoooo…pleaseee…stoppp…” Tanpa henti-hentinya bibir wanita itu menjerit-jerit histeris. Kadang-kadang giginya menggeretak keras, kadang-kadang matanya seperti melotot tajam dengan dua alisnya terangkat ke atas, kadang-kadang bola matanya berputar ke atas hingga hanya putihnya yang terlihat. Sekujur tubuh jangkung itu kini berkilat-kilat dibasahi keringat yang mengucur deras. Di selangkangan dan pangkal pahanya, bukan hanya keringat yang membasahi, cairan pelumas mengalir seperti membanjir dari liang kewanitaan yang bibirnya telah mengembang berdenyut-denyut oleh gesekan gelas itu.
Sambil tersenyum, Neo mengambil sedikit leleran cairan kewanitaan Sari dengan jari dan menjilatnya. Lama kelamaan, pria itu mulai terangsang, celana hitamnya tak lagi mampu menyembunyikan tonjolan besar dari baliknya.
Jeritan-jeritan Sari semakin tak terkontrol, berbagai sumpah serapah mengalir keluar dari bibir tipisnya di sela-sela erangan menyayat.

Tak ingin memperpanjang waktu, Neo melucuti pakaiannya sendiri. Ia berdiri mengamati tubuh korbannya yang terikat erat dengan kaki dan tangan merentang ke sudut-sudut ranjang. Tubuh indah dan ramping itu terbujur tegang, sesekali mengejang-ngejang seperti sekarat. Wajah yang tadinya begitu cantik kini tampak melotot mengekspresikan frustrasi yang amat sangat. Bibirnya komat-kamit menggumamkan sesuatu yang tak jelas terdengar.
“Baik, permainan diakhiri.” Ujar Neo sambil merentangkan kedua tangannya ke udara.
Borgol dan cambuk yang mengikat tangan dan kaki Sari terlepas. Diluar dugaan Neo, Sari segera melompat dari ranjang dan menerjang tubuh pria itu hingga jatuh terlentang di lantai. Seketika itu juga, wanita yang tampak kesetanan itu duduk di atas pinggul Neo, melesakkan tonggak kejantanan yang kaku itu pada liang berlumpur yang sedari tadi menunggu. Lalu dengan cepat dan terburu-buru, tubuh lencir yang dibasahi keringat itu bergerak naik turun sambil menjepit kejantanan Neo dengan otot-otot kewanitaannya. Tidak hanya itu, kedua telapak tangan wanita itu menutupi wajah Neo hingga ia tak dapat melihat apa yang terjadi, hanya merasakan otot kejantanannya seperti sedang diperas-peras oleh sesuatu yang lunak, kenyal, namun licin dan hangat. Terdengar juga oleh pria itu rintih dan erangan tertahan yang berangsur terdengar seperti lolongan panjang.

Beberapa menit kemudian, Neo merasakan gerakan-gerakan cepat wanita itu terhenti tiba-tiba. Pada saat yang sama, ia menyemprotkan seluruh isi kejantanannya keluar. Membuatnya lemas sesaat.
Ketika ia membuka mata, dadanya terasa perih. Garis-garis luka ringan menggores dadanya, mengalirkan sedikit darah. Ia memandang berkeliling, didapatinya Sari sudah berdiri di dekat pintu kamar dengan mengenakan kaos ketat putih dan celana pendek hitam tersenyum kepadanya.
“Ayo, mungkin kita sudah ditunggu Pak Wir.” Seru Sari dengan datar, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.

********

Meski malam hampir pagi, di ruang makan rumah besar itu lampu masih menyala terang benderang. Seandainya bisa berpikir, mungkin meja makan berbentuk elips itu kebingungan, untuk apa orang-orang mengelilinginya di waktu seperti ini.

“OK, aku rasa kalian sudah tahu masalahnya.” Pak Wiro angkat bicara sambil melangkah berkeliling ruangan, mengitari meja makan tempat di mana Neo, Sari, dan Dee duduk manis.
“Hm…saya rasa gitu.” Jawab Neo, “Kita harus segera mencari hadiah untuk Boss itu kan?”
“Benar!” Jawab Pak Wir keras, seraya meniupkan asap pipanya ke bawah, “Sebelum matahari terbenam.”
“Kita masih punya waktu panjang.” Ujar Sari tenang, “Masih banyak yang bisa dilakukan.”
“Tidak semudah itu!” Tukas Pak Wir, “Apalagi di jaman seperti sekarang ini.”
“Engg…seandainya persembahan itu gagal diberikan, apa akibatnya?” Terdengar suara Dee bertanya.
“Ia akan murka.” Sahut Neo, “Dunia akan kembali ke masa-masa yang tidak enak…sangat tidak enak, maksudku.”
“Seberapa tidak enak?” Tanya Dee dengan wajah penuh perasaan ingin tahu.
“Jauh lebih tidak enak dari yang kamu pernah bayangkan.” Ujar Sari lirih sambil matanya menerawang jauh ke langit-langit.
“Apakah kita juga akan dirugikan karena kondisi tidak enak itu?” Tanya Dee ngotot.
“Sebenarnya tidak.” Sahut Neo lagi.
“Tapi orang-orang tak bersalah itu yang akan menanggung kemarahan Big Boss.” Sahut Pak Wir seperti menyambung omongan Neo.
“Hm…Adakah pengganti persembahan itu?” Tanya Sari analitis, “Maksud saya, mungkin persembahan dalam bentuk selain kesucian dan kehormatan?”
“Sebenarnya ada sih.” Jawab Neo ragu sambil menatap ke arah Pak Wir yang juga balik menatap ke arahnya.
“Apa itu?” Tanya Dee tidak sabar.
“Nyawa salah satu dari kita.” Jawab Pak Wir sambil menunduk lesu.
Suasana kembali hening.

********

Matahari terbit, suasana di rumah besar itu tidak se-ceria pagi-pagi biasanya. Meja makan dikelilingi empat orang berwajah lesu dan tegang, yang duduk tanpa saling bicara.

“Selamat pagi!” Seru Khristi sambil berlari menuruni anak tangga di tangga putar.
Keempat orang yang duduk mengelilingi meja makan itu melirik ke arahnya sambil hanya menyunggingkan sedikit senyum.
“Ngg…aku salah omong ya?” Ujar Khristi merasa bersalah ketika mendapati wajah keempat orang yang dikenalnya itu seperti dipenuhi hawa yang aneh.
“Nggak apa-apa kok, Khris.” Ujar Sari menghibur, “Cuman lagi omong-omong aja.”
“Oh, diskusi toh?” Jawab Khristi sambil duduk di kursi makan dan mulai mengoleskan selai ke atas rotinya, “Tentang apa?”
“Ngg, tentang perluasan rumah kost.” Jawab Dee sekenanya, berusaha menyembunyikan perkara. Sebagai yang paling junior di antara ketiga rekannya, ia merasa jeri juga dengan apa yang bakal terjadi malam nanti.
“Waah, kebetulan dong!” Seru Khristi, yang disambut oleh tatapan bingung orang-orang lainnya, “Nanti malam akan ada beberapa teman kuliah yang menginap di sini mengerjakan tugas, siapa tahu mereka jadi tertarik kost di sini kalau sudah diperluas nantinya.”
Serentak wajah-wajah keempat orang lainnya berubah menjadi ceria.

“Jam berapa mereka datang?” Tanya Sari.
“Cowok apa cewek?” Tanya Dee.
“Yang cewek, OK nggak orangnya?” Tanya Neo.
“Kok pada rebutan ngomong sih?” Tanya Khristi balik, “Mereka datang ntar sore, dan mereka cewek semua, puas?”
“Oh gitu, Khris.” Ujar Pak Wir dengan nada bijak, “Rencananya, kamu dan teman-teman nanti mau tidur di kamar mana?”
“Oh, di kamar saya aja, Pak.” Jawab Khristi, “Nggak apa-apa kok dempet-dempetan.”
“Pak Wir, mungkin ranjang-ranjang yang di gudang bisa dipindahin ke sini buat tidur teman-teman Khristi?” Tanya Sari dengan nada bersemangat, namun matanya melirik tajam, memberi isyarat pada teman lain.
“Oh, ide bagus!” Jawab Pak Wir, “Gini saja, teman-temanmu boleh tidur di ruang makan kalau mereka mau, berapa orang sih?”
“Aduh, nggak usah repot-repot.” Ujar Khristi sopan, “Cuman tiga orang kok, lagian cewek semua lagi. Kan takut tidur sendirian di ruang makan sebesar ini?”
Mengakhiri kalimatnya itu, Khristi berpamitan dan segera berlari keluar meninggalkan rumah karena sudah hampir terlambat.
“Gimana pendapat kalian?” Tanya Pak Wir sepeninggal Khristi.
“Bisa diatur.” Ujar Neo singkat. Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju.

“Hayooo! Apanya yang bisa diatur?” Terdengar suara Ray tiba-tiba.
“Ray? Dari mana kamu?” Tanya Dee lugu.
“Aku sedari tadi ada di kamar mandi, dan aku dengar semua yang kalian omongkan.” Jawab Ray merasa menang, “Kalian berencana ngerjain Khristi yaa?” Sambungnya dengan nafas yang beraroma alkohol.
Semuanya hanya diam mendengar cerocosan Ray yang agak ngelantur itu.
“Dan…perlu kalian ketahui juga,” Ray kembali angkat bicara, “Aku duduk di tangga semalaman, mendengar pembicaraan kalian.”

“Ooh, Well…” Kata Sari setelah semuanya diam sesaat, “Lalu apa pendapat kamu?”
“Cerita yang menarik untuk dipublish di website!” Jawab Ray menyebalkan, “Gue ngga sabar nunggu komentar teman-teman kalau ini semua diceritakan, Hahahaha! Pasti seru deh!”
“Hihihi, benar tuh!” Sahut Dee sambil berdiri mengemasi peralatan makannya dan berjalan ke wastafel, “Pasti seru!”
“Gue juga akan cerita ke teman-teman gue yang polisi aah!” Cerocos Ray lagi.
Sari, Neo, dan Pak Wir saling berpandangan. Kini di mata Ray, ketiga orang itu tampak begitu konyol dan menggelikan.
“Gimana Boss?” Ray kembali berkata sambil menatap Pak Wir dengan pandangan tidak fokus, “Apa kira-kira sepuluh juta cukup untuk ongkos diem?”
“Maumu apa, Ray?” Tanya Pak Wir setengah membentak.
“Alaa, dia kan cuman cari tambahan ongkos untuk beli jamu-jamunya itu.” Tukas Sari dengan nada santai yang datar.
“Enak aja jamu!” Sahut Ray tidak terima, “Ini barang mahal tauuu! Si Khristi aja sampai mabuk kepayang dibuatnya! Hahaha.”
Neo hanya diam, mencibirkan bibir dan menggeleng-geleng menatap ke arah Ray yang masih agak teler.
“Mau jadi apa elo ntar, Ray?” Ujar Neo seperti menasehati, “Ngga sayang duit elo?”
“Lho! Jangan membelokkan arah pembicaraan!” Jawab Ray lagi, “Kalian akan memelihara adik kesayangan kalian ini kaan? Hehehe, seperti kata Mbak Sari, kalau tong sampahnya ngga ditutup, baunya akan kemana-mana! Hihihihi.”
“Memangnya kamu tahu apa yang kami omongin?” putri77.com Tanya Dee sambil mencuci peralatan makannya.
“Hmm…honestly enggak sih.” Sahut Ray dengan nada dibuat-buat, “Tapi itu jelas rencana nggak baik kaan?”
“Kalau aku cerita ke Khristi,” Lanjut Ray lagi, “Pasti teman-temannya nggak akan jadi nginep di sini, hingga boss kalian akan nggak senang, iya kan?”
“Ah, si boss itu nggak peduli kok.” Jawab Pak Wir mencoba menutupnutupi.
“Oh ya?” Goda Ray, “Berarti kalian nggak harus sediakan perawan-perawan gratisan buat dia dong?” Ray kembali terkekeh.
“Tapi…nggak apa-apa deh.” Cerocos Ray lagi, “Mungkin gue bisa nonton adegan seru boss kalian itu dari atas tangga putar. Hahaha, pasti seru kaan? Eh, si Khristi boleh nggak ikutan ngeladenin boss itu? Dijamin barangnya OK deh!”

Sari, Neo, Pak Wir, dan Dee hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah laku Ray. Remaja itu memang satu-satunya ‘orang biasa’ yang tinggal di situ selain Khristi. Namun apa yang diketahuinya kini sudah terlalu jauh untuk ukuran orang biasa.
Mereka tetap diam saja melihat Ray dengan perasaan menangnya kembali naik ke tangga putar, menuju kamarnya di lantai dua, tempat ia menghabiskan waktu (dan uang orang tuanya) setiap hari.

“Dee, tolong bereskan dia.” Ujar Pak Wir, yang disambut dengan anggukan setuju Neo dan Sari.
“I’ll try my best.” Ujar Dee mantap.

*********

Berbeda dengan kamar-kamar lain di rumah itu, yang umumnya rapi dan bersih, kamar yang satu ini nuansanya lain. Dindingnya dipenuhi gambar-gambar wanita tanpa busana dari halaman tengah majalah impor yang tertempel tak teratur, hampir di semua sudut tampak onggokan pakaian kotor, di sisi lain berserak botol-botol minuman mahal. Di tengah kamar yang cukup luas itu tampak sebuah botol kecil berisi spiritus yang disumpal kain bekas, beberapa kertas timah, dan bungkus koran bekas yang tadinya dipakai untuk membungkus barang-barang konsumsi orang-orang terbuang. Aroma ruangan pun tak kalah jeleknya, dipenuhi dengan bau aneh yang memusingkan kepala. Aroma itu tidak pernah bisa keluar, karena jendela kamar tidak pernah dibuka dan AC ruangan selalu menyala.

“Ray.” Suara lembut seorang wanita membangunkan Ray dari tidur rutinnya pada jam sembilan pagi.
“Eh…? Dee?” Ray terbangun dan mengenali sosok tubuh indah yang berdiri di hadapannya.
Sosok tubuh wanita yang polos tanpa tertutup apa-apa. Lekuk liku tubuh indahnya tampak begitu jelas di mata Ray, kulit yang putih bersih, rambut-rambut halus di bawah perut, dada indah yang berhiaskan tonjolan-tonjolan cantik berwarna kecoklatan.
Ray menggosok-gosok matanya, tak pernah khayalannya tampak begitu nyata.

“Ray…” Terdengar lagi suara Dee, kali ini seperti lebih merdu dan basah, “Ini nyata, bukan khayalanmu.”
Pemuda kerempeng itu terduduk di ranjangnya, sejenak ia tampak terperangah, namun sorotan matanya yang agak kosong kembali tampak mengejek.
“Ya jelas ini kenyataan.” Ejek Ray, “Kalau ini khayalan, bukan elo yang berdiri di situ.”
Dee tersenyum kecut agak tersinggung. Tubuhnya yang amat indah itu tak sepantasnya mendapat pernyataan seperti itu, namun gadis itu tetap berusaha tenang.
“Lalu siapa?” Tanya Dee, masih dengan suara manja, “Siapa yang kamu suka khayalin?”
“Hmmm….” Ray menggumam sambil menyalakan sebatang Marlboro, menambah pengap suasana, “Cameron Diaz, Vivian Chow, atau… paling enggak Mbak Sari deh.” Lanjutnya dengan nada mengejek.
“Kalau aku?” Tanya Dee, pura-pura memasang wajah kecewa.
“Kalau yang seperti elo mah, di pinggir jalan juga banyak.” Ejek Ray terus, “Paling-paling cepek ceng dapet dah.”
Dee nyaris tak dapat menyembunyikan amarahnya, untung poninya cukup panjang untuk menutupi wajah manisnya yang kini mulai bersemu merah menahan jengkel.
“Kalau Khristi?” Tanya Dee memancing, “Masa dia lebih OK dari aku?”
“Hahahahaha!” Ray terbahak sambil mematikan puntung rokok di dinding, menambah kotor, “Dia mah cuman sampingan. Gratisan lagi! Hihihi, lumayan deh, dapet perawan gratis, seperti boss elo!”

**********

Sebuah gedung perkantoran di pusat kota. Tempat di mana orang-orang dengan ‘sense-of-urgency’ tinggi berlalu lalang sibuk.
Di salah satu koridor di lantai sebelas, tampak seorang wanita jangkung melangkah cepat dengan membawa beberapa lembar berkas kerja. Sesekali ia tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.

Terdengar bunyi melodi dengan nada tinggi dari T-28 yang terselip di saku blazer wanita itu.
“Halo, Dee. Ada apa?” Jawab Sari yang telah mengenali nomor ponsel Dee yang tampak di monitor T-28 nya.
“Aduuh, lagi repot nih!” Seru Sari lagi, kali ini dengan wajah agak menahan jengkel. Orang-orang yang lalu lalang berpapasan dengannya tidak ada yang berani menyapa kalau wajahnya sudah seperti itu.
“OK, aku balik deh, sekitar setengah jam lagi.” Seru Sari lagi, seraya menutup flip dan mengantongi T-28 nya kembali.

“Nova, tolong kamu cancel appointment-ku ntar sore yah?” Seru Sari setibanya di kamar kerja pribadinya.
“Oh? Memangnya mau kemana, Mbak…eh, Bu?” Jawab asisten Sari yang juga teman dekatnya itu.
“Urusan biasa lah.” Jawab Sari cuek, sambil memasang bando di kepala, agar poninya tidak menganggu pandangannya. Dengan kacamata kecil dan bando merah jambu itu, wajahnya tampak makin cantik dan menggemaskan tiap lawan jenis. Namun kali ini wajah menggemaskan itu tampaknya sedang tidak dalam mood untuk bersenang-senang.
“Masa siang-siang gini mau hunting, Bu?” Tanya Nova si asisten, “Ngajak-ngajak doong.”
Sari hanya tersenyum dingin sambil menatap tajam pada Nova, membuat si asisten itu mengerti bahwa atasannya sedang serius.
Sejenak kemudian wanita itu telah meluncur cepat di atas Katana hijaunya.

**********

Cafe kecil di sudut sebuah plaza. Tempat dimana para yuppies makan siang, dan para pengusaha kelas teri membicarakan proyek-proyek imajiner, juga tempat sejumlah anak pejabat melobi para tukang pukulnya. Agak ke sudut, tampak tiga orang pria berpakaian rapi duduk mengelilingi sebuah meja bundar kecil dengan secangkir Espresso di hadapan masing-masing.

“Nah, jadi gimana proposalnya udah kamu bikin?” Tanya salah seorang pria itu pada temannya.
“Udah, malah udah aku kirimkan.” Jawab temannya yang mengenakan kemeja hitam dan dasi putih.
Deringan suara ponsel mengganggu keasyikan bicara mereka.

“Halo, Sari? Ada apa?” Tanya si kemeja hitam menjawab ponselnya, “Aku lagi repot nih.”
“Eh…what?” Serunya lagi, “OK, OK, OK, Nggak usah marah-marah, aku akan balik sekarang juga.”
Neo mematikan ponsel dan memandang ke arah dua rekan kerjanya itu.
“Kenapa? Ada panggilan dari bini yah?” Tanya seorang pria yang lainnya.
“Hahaha, Son!” Ujar yang satunya lagi, “Sejak kapan Neo punya bini?”
“Eh, sorry yah.” Neo memotong gurauan kedua temannya, “Kevin, Sonny, aku mesti cabut nih, kita lanjut besok, OK?”
Tanpa menunggu respon dari kedua temannya, Neo beranjak berdiri dan melangkah cepat meninggalkan cafe.

“Sejak pindah rumah itu, dia jadi aneh ya Son.” Ujar Kevin mengomentari Neo.
“Yah…” Sonny mengangkat bahu, “Bukan dia kalau nggak aneh gitu.”

**********

Kembali ke rumah kost besar di awal cerita tadi. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Di ruang makan, empat orang gadis muda berpakaian trendy sedang mendiskusikan sesuatu yang tampaknya penting bagi mereka.

“Oh, ini teman-teman kamu, Khristi?” Ujar Pak Wir yang baru saja pulang.
“Iya, Pak, kenalkan, Sweety, Tessa, dan Widya.” Sambut Khristi memperkenalkan teman-temannya.
“Wah, cantik-cantik sekali teman kamu.” Ujar pria setengah baya itu sambil berpikiran macam-macam, “Saya jadi merasa terlalu cepat dilahirkan.”
Keempat gadis itu tertawa mendengar gurauan si bapak kost.
“Tapi Om dulu pasti keren deh.” Ujar Sweety.
“Iya, sekarang aja juga masih keren lhooo.” Goda Widya menambahkan.
Keempatnya lalu tertawa-tawa lagi.
Diam-diam, dari tangga putar di sudut ruangan, bapak kost itu mengintai keempat anak itu dengan pandangan menganalisa. Keempatnya sama-sama muda, cantik, ceria, dan enerjik. Tapi yang namanya Tessa itu agak pendiam, dia tidak ikut menggoda aku tadi, pikir Pak Wir.

“Aku pulang!” Terdengar suara Sari ketika wanita itu muncul dari pintu masuk ke ruang makan.
“Eh, Mbak Sari, tumben udah pulang?!” Ujar Khristi menyambut kedatangan ‘kakak kost’-nya itu, “Kenalin teman-temanku.”
Sari berkenalan dengan ketiga teman Khristi, matanya meneliti satu per satu wajah ketiga gadis muda itu.
“Mbak jangkung deh.” Ujar Tessa mengomentari tinggi badan Sari, “Dulu pernah jadi model yah?”
“Model apaan?” Ujar Sari sok merendah, “Model iklan obat pelangsing?” Tambahnya seperti membanggakan bentuk tubuhnya.
“Bukan!” Tukas Widya, “Model iklan alat peninggi badan di acara TV media!”
Mereka tertawa-tawa mendengar gurauan itu.
Di tengah keceriaan itu, mata tajam Sari melirik ke arah teman Khristi yang bernama Sweety. Gadis ini tampak hanya tersenyum kecil ketika teman-temannya terbahak. Hmm, gadis lugu berpikiran polos, ini yang kami cari, pikir Sari dalam hatinya.
Wanita itu segera meninggalkan ruang makan, bergegas melangkahkan kaki panjangnya ke lantai dua.

“Brakk!” Terdengar pintu ruang makan terbuka dan ditutup dengan keras, tampak Neo baru saja datang.
“Wow! Kereen!” Bisik Sweety pada Tessa.
“Eh, makasih lho Dik!” Tukas Neo sambil menatap ke arah gadis-gadis itu dengan mata penuh selidik.
“Hihihi, komentar kamu kedengeran!” Seru Tessa sambil mengejek Sweety. Khristi memperkenalkan Neo pada ketiga temannya, lalu dengan sangat sopan meminta Neo naik ke lantai dua agar konsentrasi kerja teman-temannya tidak terganggu oleh penampilan Neo yang seperti itu.

**********

Kamar tidur Sari. Jendela yang menghadap ke arah barat membuat panasnya sinar matahari memaksa AC untuk bekerja lebih keras mendinginkan ruangan. Neo duduk di sofa, Pak Wir meletakkan pantat di tepi ranjang, sementara Sari duduk di atas kursi di depan meja riasnya, menghadap ke tengah ruangan. Ketiganya masih berdebat seru tentang siapa dari ketiga teman Tessa yang memenuhi syarat untuk rencana mereka.

“Kita nggak boleh keliru!” Ujar Neo sengit, “Bisa fatal akibatnya!”
“Tapi gimana coba?” Ujar Pak Wir tak kalah sengit, “Kita masing-masing berbeda pendapat.”
“Kalau ketiga-tiganya dipakai?” Tanya Sari dengan nada netral.
“Lantas gimana kalau ada salah satu atau dua dari mereka yang tidak memenuhi syarat?” Tukas Neo, “Tetap saja Boss akan marah.”
Semuanya terdiam karena tidak ada solusi.

“Eh, omong-omong tadi kenapa kok kamu meminta aku segera pulang?” Tanya Neo pada Sari.
“Ya ampun!” Sari beranjak berdiri, “Aku lupa! Dee tadi nelpon aku, katanya dia gagal ngurusin Ray!”
Ketiganya segera beranjak keluar kamar dan melangkah cepat ke kamar Ray.

**********

Ikatan yang kuat di kedua pergelangan tangan dan kaki membuat pria itu tak dapat bergerak. Beberapa torehan panjang di dadanya mulai memancarkan darah segar. Namun semua rasa sakit dan frustrasi itu seperti berebutan muncul dengan birahi dan kehangatan yang juga membiasi pikirannya. Tidak ada erangan, teriakan, ataupun sumpah serapah, karena sebuah saputangan disumpalkan ke rongga mulutnya.

Ray merasakan sekali lagi batang kejantanannya seperti dielus-elus benda lunak dan hangat yang lembab. Benda itu bergerak-gerak mengelilingi kepala batang itu, mengolesi, menaburkan rasa hangat dan nikmat. Benda lunak itu lalu turun ke batangnya, meliuk-liuk melingkar-lingkar, hangat dan membakar. Otot kejantanan itu telah menegang, membuat tonggak itu tampak kokoh dan panjang. Beberapa detik terasa begitu nikmat, sebelum sebuah benda tajam kembali menggores kulit lengannya yang bertato itu.
Terdengar jeritan pemuda itu tertahan oleh saputangan yang menyumpal mulutnya.

Dee menjulutkan lidahnya. Kali ini tak lagi pada kejantanan Ray yang terlentang terikat di hadapannya, melainkan ke kuku-kukunya sendiri, yang panjang dan berlumur sedikit darah. Dengan gerakan yang begitu indah, wanita itu meliukkan tubuh indahnya seolah begitu menikmati tetes demi tetes. Ia merangkak di atas ranjang, mengangkangi tubuh si korban yang terikat tanpa daya. Lidah panjangnya menyapu-nyapu sekujur dada Ray yang kini tergores-gores garis merah. Jilatan yang seharusnya terasa indah dan menyenangkan bagi pria itu, namun goresan menganga itu membuat rasa pedih lebih terasa. Dengan nakal kedua paha Dee yang halus mulus menghimpit kejantanan Ray, membiarkan batangan itu tergesek-gesek. Syaraf Ray seperti bingung, harus menyampaikan apa pada otaknya. Rasa sakit, ataukah kenikmatan?

Jemari Dee memaksa kedua mata Ray terbuka. Pemuda itu melihat seraut wajah di hadapannya begitu mengerikan, begitu dominan.
Mata indah gadis itu berbingkaikan bulu-bulu mata yang lentik dan panjang, namun juga dikelilingi lingkaran kehitaman. Kulit wajah yang sehari-harinya kuning langsat bersih, kini tampak pucat agak membiru. Belum lagi bibirnya, yang biasanya agak cerewet kekanakan dan berwarna merah jambu itu kini terlihat gelap, hitam, dan sedikit terlumuri noda-noda merah.

“Hmm…sayang…make love to me…” Desah Dee lirih dengan suara yang begitu menghanyutkan, begitu menghipnotis.
Ray tidak menjawab. Matanya hanya menatap kosong, dipenuhi ketakutan dan kengerian.
“Make love to me!!!!” Teriak Dee lagi dengan nada membentak sambil kuku-kukunya yang kini panjang dan lancip mulai sedikit tertanam pada kulit wajah pria tak berdaya itu.
Dengan wajah ketakutan dan berkeringat dingin, Ray mengangguk pelan.
“Good!” Bisik Dee pada telinga kanan pria itu, yang diikuti dengan jilatan-jilatan mesra.

Sejenak kemudian, di tengah rasa sakit dan ketakutannya, Ray merasakan kejantanannya mulai memasuki rawa berlumpur hangat di selangkangan Dee. Wanita itu perlahan-lahan menurunkan pinggulnya hingga seluruh kejantanan Ray terbenam dalam tubuhnya.
Ia duduk di atas tubuh Ray, dengan punggungnya menghadap ke wajah pemuda itu. Ray hanya dapat menyaksikan punggung indah di hadapannya seperti menari meliuk-liuk dengan indahnya. Semakin lama, semakin menggairahkan. Kejantanannya pun terasa seperti berada dalam remasan-remasan benda hangat dan lembut. Kewanitaan paling ketat dan lekat yang pernah dirasakannya. Pelan-pelan rasa sakit dan ketakutan Ray mulai Sirna, digantikan oleh kenikmatan dan keindahan luar biasa yang serasa memeras-meras kejantanannya. Kehalusan dan kemulusan kulit punggung Dee yang meliuk-liuk di hadapannya memperindah kenikmatan itu.

Sayang sekali, baru beberapa menit saja kejadian indah itu berlangsung, Ray sudah merasakan kejantanannya berdenyut-denyut. Seluruh energinya seperti mengumpul di sana, siap untuk meledak keluar. Dengan susah payah pemuda itu berusaha menahan nafas agar tidak segera mengakhiri permainan itu. Namun berat sekali, keindahan punggung Dee di hadapannya, rasa nikmat pada kejantanannya, benar-benar amat sulit dihindarkan. Segera tubuh kerempeng itu mengejang kuat, menghamburkan seluruh energinya keluar lewat pancaran-pancaran panas yang tersiram ke dalam liang kewanitaan Dee.

Ray, tak dapat berbuat banyak. Begitu cepat ia harus merasakan pedihnya kekecewaan Dee. Hanya sedetik rasanya ia melihat wanita itu membalikkan wajah menatap ke arahnya, dengan wajah yang menyeringai menakutkan, dengan mata yang merah melotot, sebaris gigi yang lebih menyerupai deretan pisau, dan gurat-gurat wajah yang tak lagi dapat dikenalinya sebagai Dee.
Kini pun, dengan kaki dan tangannya yang terikat, ia hanya dapat bersikap pasrah, mematung, membiarkan rasa lelah dan ketakutan menguasai dirinya, membiarkan Dee menciumi lehernya. Tiba-tiba terasa dua tusukan benda kecil pada lehernya, sakit sekali. Ia hanya bisa pasrah, mengharapkan munculnya keajaiban Sang Pencipta, yang selama ini jarang diingatnya. Terasa kakinya mulai dirasuki hawa dingin dan kaku, naik ke lututnya, ke pahanya, di saat seperti inilah, di saat-saat menjelang akhir yang begitu menakutkan, pemuda itu berteriak dalam hati, memohon maaf dan ampun pada kedua orang tuanya, kekasih-kekasihnya, juga Sang Penguasa. Tak terasa air matanya mengalir keluar dari matanya yang mulai meredup, kosong.

*********

Dee terhenyak kaget ketika jari-jemari lentik namun kokoh menariknya keras-keras, menjauh dari tubuh korbannya.

“Apa yang kamu lakukan?” Bentak Sari sambil menatap tajam pada Dee yang terhempas ke lantai oleh tarikannya.
Berangsur-angsur wajah mengerikan itu kehilangan gurat-guratnya. Mata yang besar melotot mengecil, bibir yang hitam kebiruan kini memerah, dan kulit yang pucat pasi kini menguning perlahan.
“D-Dia…bikin aku sebel, Mbak!” Ucap Dee terbata-bata.
Sari tidak terlalu menghiraukannya. Wanita itu menatap ke arah ranjang, dimana Neo dan Pak Wir sedang mengamati pemandangan mengerikan di sana.

Betapa tidak, tubuh kurus Ray terikat erat di ranjangnya sendiri, dengan kulit dada dan lengan seperti tercabik-cabik membanjirkan darah yang membasahi sprei, mata terpejam yang mulai membiru di sekitarnya mengalirkan air mata. Wajah yang biasanya tampak menyebalkan itu kini tampak seperti memelas dan memohon ditundanya saat-saat akhir.

“Gawat…” Ujar Pak Wir setelah meraba leher Ray yang kini berhiaskan dua buah lubang kecil berlumur darah segar.
“Kenapa?” Tanya Neo dengan nada khawatir.
“Kalian memiliki saudara baru.” Ujar Pak Wir datar, sambil melangkah mundur menjauhi ranjang, “Ia masih hidup.”

Semuanya terdiam, suasana di kamar berhiaskan poster-poster gadis telanjang itu terasa hening untuk beberapa saat. Neo, Sari, Pak Wir, dan Dee menatap gurat-gurat luka di dada Ray mulai menipis, menipis, kemudian menghilang. Bunyi petir yang menggelegar di langit yang mendadak menderaskan hujan membuat ketiganya tersadar dari lamunannya.

“Dia datang!” Pekik Pak Wir.

***********

Ruang makan utama, yang biasanya terang benderang, ceria dan menjadi tempat berkumpul para penghuni rumah saat bertukar canda di meja makan kini seperti berubah total. Hening, sepi, dan begitu mencekam. Suara canda tawa dari teman-teman Khristi yang baru saja terdengar ramai, kini tak lagi terdengar. Mereka tak lagi bersuara. Keempatnya berdiri tanpa busana, mematung dengan pandangan kosong. Berbaris berderet di tengah ruangan. Seperti tak sadarkan diri, meski mata terbuka dan tubuh berdiri tegak. Seseorang, atau sesuatu, tampak berdiri mondar mandir mengamati gadis-gadis itu. Sesuatu yang tidak jelas bentuknya, sesuatu yang besar, namun terlihat kabur. Mengerikan, namun juga terasa berkharisma. Gelap, namun sekaligus sejuk. Dingin, namun memancarkan hawa lembut yang merayu.

“Ah, servis yang mengecewakan!” Terdengar suara pria yang bernada rendah, bijak, namun menusuk telinga.

Pak Wir, Sari, Neo, dan Dee yang tergopoh-gopoh menuruni tangga putar kini duduk bersimpuh di lantai dengan kepala menunduk, pasrah dan siap menerima apa yang harus terjadi.

Pelan-pelan, sesuatu yang tampak tidak jelas tadi mulai menampakkan bentuknya. Agak lama kemudian, tampaklah wujud tamu yang dinanti-nanti kedatangannya itu. Seorang pria muda tanpa busana, berkulit kemerahan, berambut panjang berwajah tampan, dengan hidung mancung dan alis mata tebal serta sorot mata yang tajam dan dingin. Tubuhnya berkesan atletis dan berotot keras, namun juga anggun dan elegan dari sikapnya berdiri. Ketampanan dan kharisma yang dipancarkannya membuat tak satu wanita pun tidak melirik keindahan tubuh telanjangnya, dan tak satu pria pun yang tidak segan oleh tatapannya.

“Ratusan tahun, anakku.” Pria muda itu bicara pada Pak Wir, “Kamu selalu menyerahkan yang terbaik buatku. Tapi kali ini?”
Pria itu berhenti sejenak dan mengacungkan telunjuknya pada keempat gadis yang kini berdiri mematung tanpa busana dengan tatapan mata kosong, “Mereka semua begitu busuk ternoda oleh pria-pria sebelum waktunya…apakah sulit menemukan yang bersih dan suci pada masa sekarang ini?”
Pak Wir tetap terdiam dan menunduk.
“Setelah sekian lama aku membiarkanmu hidup untuk mencari pengikut.” Ujar pria muda itu melanjutkan pidatonya, “Tapi mana? Hanya tiga orang inikah pengikut setiamu? Bagaimana bisa kita menguasai dunia dengan pasukan bau kencur seperti ini? Mana orang-orang berpengaruh yang kamu janjikan untuk bekerja sama dengan kita? Hah?”
Semuanya tetap saja terdiam.

Pria itu lalu melangkahkan kakinya mendekati Pak Wir, Neo, Sari, dan Dee yang tetap bersimpuh gemetaran.

“Hm…Tapi kedua wanita ini…” Pria itu menggumam, “Rupanya kamu memilih mereka untuk kesenanganmu sendiri. Sayang sekali barang-barang bermutu tinggi seperti ini harus kamu pergunakan sendiri.”
“Dan kamu!” Bentak pria tampan itu pada Neo yang bersimpuh paling ujung, “Kamu mengaku diri pendosa, tapi apa arti sebuah dosa bagi kamu?” Tatapan pria itu membuat dahi Neo berkeringat dingin, “Hanya sebuah permainan? Atau hanya bagian dari sebuah kesenangan? Memalukan!”
“Malam ini…” Pria itu berkata lagi sambil membelakangi keempat penyembahnya, “Aku harus memanggil temanku, si pencabut nyawa, untuk memilih salah satu di antara kalian! Yang paling tak pantas menjadi anakku, agar menjadi peringatan bagi yang lain.”
“DEATH!” Pria itu berteriak dengan suara menggelegar keras.

Sebentuk kepulan asap hitam, tiba-tiba bergulung-gulung muncul menyelimuti Sari. Tubuh lencir wanita itu seperti tenggelam di balik gulungan asap hitam pekat. Pria tampan yang dari tadi tampak angkuh itu seperti terkejut menyaksikan asap yang menyelimuti tubuh wanita itu menipis, menampakkan sesosok tubuh jangkung langsing, yang terselimuti oleh jubah hitam pekat. Sepasang tangan yang indah dan mulus tampak menggenggam sebilah kapak besar. Wajah Sari tampak tersenyum di balik tudung jubah besar yang dikenakannya.
“Kamu memanggil aku, Evil?” Ujar sesuatu yang tadinya dikenal sebagai Sari itu.
“K-Kamu….” Pria tampan yang dipanggil Evil itu tergagap, “Untuk apa kamu ikut campur ini semua?”
“Ya, ini aku.” Jawab ‘Sari’ lagi dengan nada tenang, “Aku berada di sini untuk memenuhi permintaanmu.”
“B-Baik!” Jawab Evil masih agak tergagap, “Bawa nyawa mahluk-mahluk tak berguna itu bersamamu!”
“Tidak.” Jawab ‘Sari’, “Aku hanya memilih salah satu dari pengikutmu, sesuai perjanjian!”
“Tapi mereka tidak berguna bagiku!” Bentak Evil menuding-nuding Pak Wir, Neo, dan Dee.
“Kalau aku mengambil mereka semua,” Jawab Death dalam bentuk Sari itu dengan nada ceria, “Kamu akan memilih wakil yang lain lagi.” Lanjutnya sambil tersenyum dingin, “Tapi kalau aku memilih salah satu, mereka akan tetap menjalankan tugas suci mereka!”
“T-Tugas suci?” Neo tiba-tiba nyeletuk tidak mengerti. Pak Wir dan Dee ikut berpandangan bengong.
“Yap!” Jawab Death lagi, “Tugas suci untuk melindungi dunia dari ancaman Evil. Bukankah kalian telah susah payah menyediakan mangsa bagi Evil agar ia tak mampu menguasai dunia?”
“Percayalah,” Ujar Death lagi, “Seiring dengan berjalannya waktu, tidak akan ada satupun manusia wanita yang memenuhi syaratnya. Pada waktu itulah Evil berencana menguasai dunia, menariknya kembali ke dalam kegelapan.”
“Tapi kamu tetap harus memilih salah satu dari mereka!” Bentak Evil tidak sabar.
“Tentu, aku akan mengambil salah satu pengikutmu!” Jawab Death.

Mengakhiri kalimatnya, ‘Sari’ merentangkan tangannya ke atas, dan tiba-tiba sosok tubuh Ray sudah berada di tengah ruangan. Luka-luka di tubuhnya sudah bersih tak berbekas. Masih tampak ekspresinya memelas, memohon ampunan, dan menatap tanpa harapan pada si pencabut nyawa.

“Ia telah menyia-nyiakan hidupnya, dan tidak akan banyak berguna bagi orang lain.” Ujar Death sambil merentangkan jari-jari tangan kanannya, tempat sebilah sabit panjang tiba-tiba berada, “Dunia tidak akan keberatan jika aku mengambilnya malam ini.”
Dengan tak terduga, sabit panjang itu terayun. Bahkan Ray sendiri tak sempat mengeluarkan kata-kata ataupun teriakan dari kerongkongannya yang segera terputus oleh sabetan itu.

***********

Matahari terbit, memancarkan sinarnya menerangi rumah kost besar di sudut sebuah kompleks elit. Tidak banyak yang tahu apa bedanya rumah itu dengan rumah-rumah lain yang bentuknya sama dalam kompleks itu.
Si manis Khristi masih tidur pulas menikmati Sabtu pagi.
Neo, Pak Wir, dan Dee mengelilingi meja makan. Masih ada keharuan, rasa bangga, rasa lega, sekaligus rasa tanggung jawab pada hati mereka masing-masing.

“Hmm…Sepi rasanya.” Ujar Neo sambil mennghirup kopi paginya, “Tidak ada Ray, tidak ada Sari.”
“Yah…” Dee menghela nafas panjang, “Aku senang kita masih hidup, Thanks to Death. Sulit membayangkan kalau dia itu Sari.”
“Iya, aku juga mikir begitu, ” Tukas Pak Wir, “Kalau selama ini aku tahu dia siapa, dan apa tujuannya di sini, aku nggak akan sekuatir ini…”
“Begitulah…” Dee menjawab, “Selama ini aku suka sebel dengan sikapnya yang sok dewasa dan suka ngerjain aku.”
“Lucky me…” Neo mencoba bercanda, “Aku sudah pernah bercinta dengan si pencabut nyawa!”
“Hahaha, tapi ati-ati kalau milih teman kencan!” Jawab Pak Wir, “Bisa-bisa kamu yang dipilihnya semalam!”
“Hahaha!” Neo balas tertawa, “Tapi jangan munafik ah! Pak Wir juga pengen kencan sama dia kan? Nyatanya ngintip dia mandi!”
“Eh, jangan keras-keras lho!” Canda Khristi, “Bisa-bisa dia mendengar kita dari atas sana!”
Semuanya tertawa-tawa dan melanjutkan sarapan di hari libur Sabtu pagi itu

“Gedubrak!” Terdengar pintu masuk terbanting, semua menatap ke arah pintu malang itu.
“Dee, kenapa kamu nelpon aku di kantor? Kan masih jam kerja…” Ujar Sari yang baru masuk itu dengan bawel.
“…Kenapa semua kok ngeliatin aku seperti itu?”
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts